Penyalahgunaan Kesehatan Jiwa Jadi Sorotan Panja RUU Kesehatan Jiwa
Panitia Kerja RUU tentang Kesehatan Jiwa (Panja RUU Keswa) Komisi IX DPR RI menyoroti masalah penyalahgunaan Kesehatan Jiwa yang dikaitkan dengan proses hukum seseorang. Pasalnya akhir-akhir ini, banyak orang tersangkut masalah hukum bebas dengan alasan mengalami gangguan jiwa.
Hal tersebut mengemuka pada Rapat Panja RUU Keswa guna mendapatkan masukan bagi perumusan draft RUU Keswa dengan Ketua Pusat Krisis UI, Ketua Masyarakat Neurosains Indonesia, Ketua Psikiatri Forensik UI dan Ketua Indonesia Mental Health Networks yang dipimpin Wakil Ketua Komisi IX Nova Riyanti Yusuf di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (5/12)
Anggota Panja RUU Keswa, Zubeir Safawi (F-PKS) memberikan apresiasi atas masukan yang disampaikan narasumber yang hadir. Panja akan memilah-milah mana yang harus masuk RUU dan mana yang hanya menjadi Peraturan Pemerintah.
Menurutnya RUU Keswa akan menjadi payung hukum yang kuat, agar tidak ada lagi tersangka bebas begitu saja dengan alasan gangguan jiwa.
“Semestinya siapapun harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Apakah bisa dilacak hal yang sudah dilakukan seseorang di masa lalu?” tanya Zubeir.
Senada dengan Zubeir, Dhiana Anwar (F-PD) dan Muchtar Amma (F-Hanura) mempertanyakan adakah tolak ukur seseorang dikatakan benar-benar mengalami gangguan jiwa, sehingga orang tersebut dapat bebas dari tuntutan hukum.
Sementara, Dewi Asmara (F-PG) menyatakan perlu adanya standarisasi bagi penegak hukum untuk menyatakan bahwa seorang tersangka mengalami gangguan jiwa.
“Pasalnya ada orang-orang yang karena mengalami tekanan-tekanan misalnya selama dirinya ditahan, akhirnya mengalami gangguan jiwa. Atau karena permintaan pengacaranya membuat skenario gangguan jiwa,” paparnya.
Sedangkan, Hang Ali Saputra Syah Pahan (F-PAN) meminta agar tidak mengkhawatirkan setelah adanya RUU Keswa ini, karena menurutnya hal ini akan dimanfaatkan oleh para koruptor atau orang-orang yang tersangkut hukum.
“Tidak perlu negatif thinking, masih banyak psikolog dan psikiater yang idealis. Tidak perlu ada pemikiran seperti itu, yang akhirnya akan membuat mandegnya RUU Keswa,” tegas Hang.
Menjawab pertanyaan Panja RUU Keswa, Gerald Mario Semen, Ketua Psikiatri Forensik UI menyatakan, bahwa karut marut permasalahan hukum yang dikaitkan dengan pelayanan kesehatan jiwa berawal dari UU Hukum Pidana Indonesia, dimana pasal 44 KUHP berbunyi : “barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam perkembangan atau terganggu karena penyakit tidak di pidana”.
“Pasal ini menyatakan orang tidak dapat dipidana kalau jiwanya terganggu atau terganggu karena penyakit. Sedangkan defenisi terganggu karena penyakit ini sangat luas,” ujar Mario.
Sistem hukum di Indonesia sendiri, menurut Mario segala pusat pengadilan itu adalah kewenangan hakim. Pendapat para ahli dan pendapat ahli kesehatan jiwa akan luluh jika hakim berpendapat lain.
“Mungkin hal yang perlu diperbaiki terlebih dahulu adalah memperbaiki KUHP. Saya sangat setuju apabila RUU Keswa ini untuk memperbaiki apa yang belum dicover dalam KUHP,” tandasnya.
Menurut Mario, orang yang mengalami gangguan jiwa bisa dilihat pada saat dia melakukan tindak pidana. Karena gangguan jiwa komponennya terdiri dari tiga yaitu pikiran, perasaan dan perilaku.
Jika salah satu komponennya terganggu, komponen yang lain pasti akan terganggu. Misalnya pikiran terganggu, maka perilakunya akan terganggu, perasaannya akan terganggu.
“Oleh karena itu, persyaratan didalam sebuah ruang pemeriksaan harus ada CCTV, pasien kita tempatkan di ruang yang ada CCTV dan akan dipantau kesehariaannya,” papar Mario.
“Apakah koruptor itu bisa bebas. Jika dia memang gangguan jiwa nanti mungkin dia bisa tertawa sendiri, ngomong sendiri, kalau memang dia gangguan jiwa. Tapi kalau pada saat sidang dia mengalami gangguan jiwa tapi dalam kesehariannya normal, bisa kita namakan gangguan buatan atau pura-pura. (sc)/foto:iwan armanias/parle.